Menyoal Pemberhentian ASN Lantaran Korupsi
Berita
mengenai belum terselesaikan pemecatan 2.357 PNS mulai mendapat
perhatian berbagai kalangan ketika berbagai media menyoroti kelambatan
pemerintah menyelesaikan permasalahan tersebut.
Diawali ketika Menteri Dalam Negeri, Menteri PAN&RB dan BKN bersama-sama menerbitkan Keputusan Bersama yang mendesak para Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) mengeluarkan keputusan pemecatan kepada PNS yang setelah menjalani pidananya ternyata masih aktif bekerja dan tetap menerima gaji. Walaupun sudah didesak agar diselesaikan selambat-lambatnya 31 Desember 2018, ternyata baru dapat diselesaikan sekitar 20 persen.
Diawali ketika Menteri Dalam Negeri, Menteri PAN&RB dan BKN bersama-sama menerbitkan Keputusan Bersama yang mendesak para Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) mengeluarkan keputusan pemecatan kepada PNS yang setelah menjalani pidananya ternyata masih aktif bekerja dan tetap menerima gaji. Walaupun sudah didesak agar diselesaikan selambat-lambatnya 31 Desember 2018, ternyata baru dapat diselesaikan sekitar 20 persen.
Ternyata proses pemecatan itu tidak semudah membalikan tangan, karena selain mendapat resistensi dari PNS yang menolak untuk dipecat, juga masih ada permasalahan hukum yang tidak disadari dan tidak diakomodasikan dalam Keputusan Bersama tersebut. Kondisi ini ternyata berlarut-larut sampai melebihi batas waktu yang ditentukan, bahkan ada gubernur yang minta agar BKN memperhatikan masalah hukum sebelum melaksanakan pemecatan.
![]() |
Nurmadjito Pramu, SH, MH |
Persoalannya,
adalah sebagian besar PNS terpidana, dipidana sebelum berlakunya UU
Aparatur Sipil Negara, dan pada waktu itu para kepala daerah, Gubernur,
Bupati atau Walikota menggunakan wewenangnya untuk mengaktifkan kembali
PNS terpidana karena persyaratannya terpenuhi, misalnya dihukum selama 1
(satu) tahun, padahal ketentuan membolehkan pengaktifan kembali karena
ditentukan batasan pidananya 4 (empat) tahun. Pengertian diaktifkan
kembali adalah PNS bersangkutan untuk sementara ditenpatkan sebagai staf
dan bekerja membantu aktivitas unit yang bersangkutan. Namun demikian
PNS yang bersangkutan tetap dikenakan hukuman disiplin, misalnya
diturunkan pangkat atau ditunda kenaikan pangkatnya. Walau begitu,
karena sudah diaktifkan dan bekerja biasa, PNS bersangkutan tetap
menerima gaji sesuai golongannya.
Persoalan
lainnya, adalah PNS tersebut telah diaktifkan cukup lama, seperti
terjadi di Pemerintahan Kepulauan Riau, terdapat PNS yang sudah
diaktifkan 10 tahun yang lalu bahkan ada yang sudah pensiun. Tampaknya
yang ingin dituju oleh Keputusan Bersama ini adalah mereka-mereka ini
yang putusan pidananya hampir 10 tahun yang lalu. Bagi Kepala Daerah
akan memenuhi kesulitan dan menghadapi masalah hukum untuk mengeluarkan
keputusan pemecatan karena ditentukan dalam peraturan, Keputusan
pemecatan harus dikeluarkan pada akhir bulan setelah putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum tetap. Bilamana kemudian setelah 10 tahun
dikeluarkan keputusan pemecatan, berarti membatalkan keputuan
pengaktifan dan berarti pula keputusan itu berlaku mundur. Semua pihak
jelas mengetahui adanya asas larangan retroaktif, terutama untuk
pemberhentian PNS.
Tampaknya
Keputusan Bersama tersebut tidak mengakomodasikan masalah-masalah hukum
apabila menginginkan pemecatan serentak sebelum berakhirnya tahun 2018.
Jadi amat sulit untuk memahami pendapat berbagai pihak bahwa tidak
terselesaikan pemecatan itu menimbulkan kerugian negara, karena membayar
gaji untuk PNS yang terpidana, padahal PNS yang mantan terpidana telah
diaktifkan kembali berdinas berdasarkan keputusan yang sah dari yang
berwenang, dan pula sudah bertugas melaksanakan pelayanan kepada
masayarakat. Kengganan kepala daerah untuk memberhentikan PNS pada saat
ini, karena kemungkinan pejabat daerah tersebut telah memahami masalah
hukum apabila harus mengeluarkan keputusan yang melanggar asas
retroaktif. Kedudukan hukum Kepala Daerah tersebut lemah dan rentan
digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Kelemahan
hukum lain yang harus dihadapi Kepala Daerah adalah terbentur pada
ketentuan UU Administrasi Pemerintahan yang mengatur dan mensyaratkan
apabila akan dilakukan pencabutan atau pembatalan suatu Keputusan.
harus diketemukan adanya cacat (a) wewenang (b) prosedur dan/atau (c)
substansi. dan memperhatikan Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Dalam
kenyataan Kepala Daerah saat menerbitkan keputusan pengaktifan kembali
telah memenuhi syarat. Namun ketika akan dilakukan pencabutan atau
pembatalan Keputusan memenuhi kesulitan karena tidak dapat memenuhi atau
melanggar persyaratan yang terkait dengan soal substansi. Terkait
dengan pembatalan atau pencabutan keputusan pengaktifkan kembali
sebagaimana diusulkan adalah soal fakta dan syarat hukum yang
menjadi dasar keputusan.
Kriteria
tersebut diatas bilamana akan menjadi alasan pencabutan, adalah hal
yang sulit dipenuhi dan menimbulkan keengganan Kepala Daerah menganulir
keputusan sesuai permintaan. Alasannya adalah Kepala Daerah saat
menerbitkan keputusan pengaktifkan kembali ASN mantan terpidana korupsi
telah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan UU Administrasi
Pemerintahan, namun ketika harus mencabut atau membatalkannya terbentur
pada persyaratan hukum, Kepala Daerah akan kesulitan mencantumkan dasar
hukum pencabutan, karena dasar untuk mencabut keputusan hanya terbatas
permintaan atau himbauan, yang dari perspektif hukum tidak memenuhi
kriteria sebagai dasar hukum pencabutan. Demikian pula dalam kerangka
pencabutan keputusan, sama sekali tidak ada perintah pengadilan.
Menurut Badan Kepegawaian Negara (BKN) terungkap jumlah ASN yang telah selesai menjalani hukuman dan diangkat/diaktifkan kembali oleh PPK mencapai 2.357 orang, dan oleh BKN dianggap keputusan-keputusan mengaktifkan kembali itu melanggar UU Aparatur Sipil Negara, maka BKN meminta agar PPK atau kepala Daerah menganulir keputusan dan menerbitkan Keputusan baru Pencabutan Pengaktifan dan kemudian menyatakan yang bersangkutan diberhentikan dengan kualifikasi “Tidak Dengan Hormat”. (*)
Post a Comment