Tak Peka dan Tak Elok Melontarkan Wacana Amandemen UUD'45 Saat Pandemi
![]() |
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Foto : Ist. |
JAKARTA - Kondisi masyarakat masih susah dan berat keadaannya dalam menghadapi pandemi covid-19, malah disuguhkan upaya MPR mengamandemen UUD 1945. Tentu saja, rencana MPR itu menuai pro kontra, bahkan di internalnya sendiri.
Beberapa fraksi menilai amandemen saat pandemi tidak tepat, ada juga
yang khawatir amandemen membuka kotak pandora akan mengubah ketentuan
lain.
Ketua MPR Bambang
Soesatyo memastikan pihaknya tengah menyelesaikan amandemen UUD untuk
merumuskan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang dulu disebut GBHN.
"Saat
ini Badan Pengkajian MPR bekerja sama dengan Komisi Kajian
Ketatanegaraan MPR serta melibatkan pakar hingga kementerian, sedang
merumuskan," kata Bambang di Jakarta, Jumat (20/8/2021).
Amandemen
yang disepakati untuk menghidupkan GBHN yang kini bernama Pokok-Pokok
Haluan Negara (PPHN), tengah berlangsung dan masih terus dikaji.
Dia
mengatakan, proses amandemen UUD 1945 sudah diatur dalam ketentuan
Pasal 37 ayat 1-3 UUD NRI 1945. Ayat 1 menjelaskan, usul perubahan
pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh
sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, yakni sekitar 237 dari
711 jumlah anggota MPR.
"Di ayat 2 Pasal 37 UUD
NRI 1945 dijelaskan pula bahwa setiap usul perubahan pasal-pasal UUD
diajukan secara tertulis dan ditujukan dengan jelas bagian yang
diusulkan untuk diubah beserta alasannya," ucap Bamsoet, sapaan
akrabnya.
Eks Ketua DPR itu menegaskan
disetujui tidaknya amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk menghadirkan
PPHN, sangat tergantung dinamika politik yang berkembang serta keputusan
partai politik dan kelompok DPD.
Wakil Ketua
Umum Partai Golkar itu menjelaskan pentingnya menghadirkan PPHN sebagai
bintang arah pembangunan nasional itu, tidak muncul begitu saja. Tetapi,
sudah menjadi rekomendasi MPR RI periode 2009-2014 dan MPR RI periode
2014-2019.
Rekomendasi mengusulkan amandemen
terbatas UUD NRI 1945 agar MPR memiliki kewenangan menetapkan pedoman
pembangunan nasional ‘model GBHN’, yang disebut PPHN.
"MPR RI periode saat ini hanya melaksanakan rekomendasi dari MPR RI periode sebelumnya," tutur Bamsoet.
"Perlunya
kehadiran PPHN ini juga telah mendapat dukungan dari Forum Rektor
Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis
Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN), serta sejumlah kampus di Indonesia,"
pungkasnya.
Apabila semua pimpinan partai
politik sudah sepaham serta sepakat dan menugaskan anggotanya untuk
mengajukan dukungan tanda tangan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah
anggota MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, barulah pimpinan MPR RI akan
mengurus teknis administrasi pengajuan usul amandemen UUD NRI Tahun 1945
sesuai pasal 37 UUD NRI 1945, yang hanya fokus pada penambahan dua
pasal.
"Sehingga, amandemen terbatas tidak akan mengarah kepada hal lain diluar PPHN," jelas Bamsoet.
Anggota
Dewan Pakar KAHMI ini memaparkan bentuk hukum yang ideal bagi PPHN
adalah melalui ketetapan MPR. Bukan melalui undang-undang yang masih
dapat diajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi.
Juga
bukan diatur langsung dalam konstitusi. Karena PPHN adalah produk
kebijakan yang berlaku periodik, dan disusun berdasarkan dinamika
kehidupan masyarakat, serta bersifat direktif, maka materi PPHN tidak
mungkin dirumuskan dalam satu pasal atau satu ayat saja dalam
konstitusi. (RD)
Post a Comment