AJI Desak Presiden Jokowi Tuntaskan Polemik TWK Pegawai KPK
JAKARTA - Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyelesaikan polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketua
Umum AJI Indonesia Sasmito Madrim mengatakan tiga desakan kepada
presiden itu, yakni Presiden Jokowi harus berpegang teguh pada komitmen
awal dan membuktikannya dengan sikap konkret menengahi polemik TWK
pegawai KPK.
Presiden Jokowi mengikuti
rekomendasi Komnas HAM berupa tindakan korektif untuk mengangkat seluruh
pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK.
Presiden
Jokowi memerintahkan KPK untuk mengikuti rekomendasi Komnas HAM dan
melaksanakan tindakan korektif yang diminta Ombudsman. "Kami tak ingin
ada sikap plin-plan, membuat publik kian tak percaya dengan janji
pejabat negara," kata Sasmito.
Sasmito
menyatakan revisi Undang-Undang KPK tentu bukan keputusan yang akan
dilupakan, maka jika tetap pula membiarkan pegawai KPK berintegritas
disingkirkan, lengkap sudah rekam jejak kepemimpinan yang membuat
pemberantasan korupsi di Indonesia runtuh.
Perwakilan
57 pegawai KPK berkunjung ke Kantor AJI Indonesia dalam agenda
mendiskusikan temuan dua lembaga negara, yakni Ombudsman RI dan Komnas
HAM RI yang menyebut ada pelbagai pelanggaran dan siasat penyingkiran
pegawai KPK melalui pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK).
Lembaga
pengawas pelayanan publik Ombudsman menemukan ada cacat administrasi
berlapis, penyimpangan prosedur, dan penyalahgunaan dalam proses
pembentukan kebijakan, pelaksanaan TWK, serta penetapan hasil.
Temuan
dan pendapat Ombudsman RI merupakan pendapat hukum yang teruji, karena
itu harus dipatuhi oleh lembaga pelayanan publik terlapor, yaitu KPK.
Sedangkan
Komnas HAM mendapati proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui
asesmen TWK diduga kuat merupakan bentuk penyingkiran terhadap pegawai
tertentu dengan latar belakang tertentu. Indikasi itu ditunjukkan di
antaranya dengan adanya profiling lapangan terhadap sejumlah pegawai
KPK.
Laporan setebal lebih dari 300 halaman
itu, juga membeberkan temuan 11 bentuk dugaan pelanggaran HAM di
antaranya pelanggaran terhadap hak atas keadilan dan kepastian hukum,
hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi ras dan etnis, hak atas rasa
aman, hak atas privasi, hak atas informasi publik dan, hak atas
kebebasan berpendapat.
Atas rentetan temuan
itu, seharusnya tak ada lagi alasan bagi KPK untuk tidak mengangkat 75
(yang kemudian 50-an di antaranya dicap merah) pegawai KPK sebagai
aparatur sipil negara. Tapi pemimpin lembaga antirasuah memilih untuk
mengabaikannya.
"Ketika hak asasi manusia
disepelekan, hukum direndahkan dan ketidakadilan didiamkan, maka
orang-orang patut bicara. Apalagi, mereka yang memiliki otoritas
tertinggi," kata Sasmito.
Selain itu, Presiden
Joko Widodo sebagai atasan, harus mengambil alih dan mengoreksi
keputusan KPK. Ini momentum bagi Jokowi untuk membuktikan sikap konkret
dukungan terhadap pemberantasan korupsi, dan menegaskan ketidaksetujuan
TWK dijadikan 'alat' untuk mendepak pegawai yang justru berintegritas
seperti yang pernah disampaikannya pada 17 Mei 2021.
Menurut
Sasmito, Presiden Jokowi pernah menyatakan hasil TWK terhadap pegawai
KPK hendaknya menjadi langkah-langkah perbaikan KPK, baik individu
maupun institusi, dan tidak serta-merta dijadikan dasar untuk
memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes.
Sasmito
menegaskan Ombudsman dan Komnas HAM memiliki kewenangan terbatas.
Tindak lanjut dari tangan Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara diuji
melalui putusan ini, apakah bisa menjadi panutan tertinggi melawan
korupsi atau justru membiarkan para koruptor berutang budi padanya.
Post a Comment