Menyoal Tindakan Biadab Pencongkelan Mata Anak
oleh : M. Soleh*)
Pemberitaan
mengenai seorang anak perempuan, usia enam tahun dicongkel matanya oleh
kedua orang tuanya di Kecamatan Tinggimoncing, Kabupaten Gowa, Sulawesi
Selatan pekan lalu, menarik perhatian masyarakat luas. Peristiwa
tersebut pun mendapat kecaman netizen di lini media sosial. Publik
marah. Anak yang seharusnya mendapatkan kasih sayang, malah diperlakukan
secara keji. Gadis kecil inisial AP itu nyaris mengalami kebutaan.
Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan, Kombes Pol. E. Zulpan mengatakan aksi penganiayaan pertama kali dilakukan oleh ibunya. HAS mencongkel mata sebelah kanan korban dengan menggunakan jari tangan. Aksi biadab itu dibantu ayahnya, TAU. Paman korban, US dan kakeknya, BAR membantu memegang kepala dan badan korban.
Tidak terbayangkan bagaimana mendiskripsikan peristiwa biadab tersebut. Mata sebelah kanan korban mengalami luka dan dan darahpun mengalir. Mereka tega mencongkel mata korban karena diduga mempelajari ilmu hitam pesugihan dan menjadikan korban sebagai tumbal. Sebelumnya menganiaya gadis kecil AP, para pelaku diduga juga membunuh kakak dari gadis kecil tersebut, yakni DS dengan cara dicekoki air garam sebanyak 2 liter, sehingga menyebabkan pembuluh darah pecah dan korban pun meninggal dunia.
Kasus pencungkilan
mata terhadap anak juga pernah terjadi di China pada 2013. Namun,
motifnya bukanlah pesugihan atau praktik ilmu hitam, melainkan diduga
karena praktik perdagangan gelap organ tubuh. Menurut sumber
News.com.au, anak tersebut menghilang saat bermain bersama
teman-temannya. Orang tua baru menemukan sang anak sekitar 3 sampai
dengan 4 jam kemudian, dalam kondisi terbaring dengan bagian mata
bersimbah darah. “Seluruh wajahnya berdarah. Kelopak matanya masuk ke
dalam. Dan di dalamnya, bola matanya tidak ada di sana” ucap sang Ayah
kepada Televisi Shanxi. Dalam konteks kekerasan, apa yang dialami gadis
kecil AP relatif sama dengan apa yang terjadi di China, meskipun
motifnya berbeda.
Kejahatan terhadap anak masih sering
terjadi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang tahun 2020
mendapat laporan 2700 kasus kekerasan terhadap anak, naik 38 persen
dari tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 52 persennya merupakan
kekerasan seksual. Bisa saja angka kasus per tahun lebih tinggi dari
angka statistik yang terdata. Masih banyak masyarakat yang tidak
melaporkan kasus kekerasan terhadap anak, karena berbagai alasan.
Misalnya malu karena dianggap sebagai aib keluarga, takut dituduh
terlibat dan adanya ancaman hukuman serta sikap abai atau tidak peduli
masyarakat dengan kejadian di sekitar lingkungannya.
Meskipun
yang dialami gadis kecil itu bukanlah kejahatan seksual, namun
kejahatan jenis tersebut tidak kalah sadis. Dampaknya sang anak
setidaknya kini tidak sempurna lagi melihat, dan butuh proses pengobatan
yang tidak sebentar. Ia tidak bisa lagi belajar secara maksimal,
bergaul dengan teman sebaya secara baik, dan bahkan bisa berpengaruh
karir dan masa depannya kelak.
Motif praktik pesugihan, yang
diduga menjadi pintu masuk tindak pidana pun dapat menjadi perhatian
bersama. Betapa masih banyak masyarakat yang kerap mencari jalan pintas
untuk memperoleh kekayaan dalam sekejap mata. Dari fakta yang ada,
setidaknya ada dua pengaruh yang menyebabkan ini terjadi. Pertama, para
pelaku kehilangan kendali atas keimanan, sehingga mempelajari dan
terperdaya hal-hal mistis, baik dalam rangka persyaratan praktik lmu
hitam maupun keinginan memperoleh sesuatu dengan cara instan. Kedua,
adanya pengaruh eksternal, baik dari lingkungan dan media sosial yang
selama ini memamerkan materialisme dan kehidupan yang hedonis.
Hukuman yang Setimpal
Peristiwa kekerasan terhadap anak dimanapun dan apapun motifnya tidak dapat ditolerir. Dunia menolak keras. Kekerasan terhadap anak melanggar Hak Asasi Manusia. Selaku manusia, anak adalah makhluk ciptaan Tuhan, yang memiliki hak asasi sejak dilahirkan. Tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh merampas hak tersebut.
Terkait ini, Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak (KHA) atau UN-CRC (United Nations Convention on the Rights of the Child).
KHA merupakan sebuah perjanjian hak asasi manusia yang menjamin hak
anak pada bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, kesehatan, dan budaya
yang disahkan pada tahun 1989 oleh PBB.
Indonesia
meratifikasi KHA pada 1990 dan mengadaptasi konvensi ini ke dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Selanjutnya
negara menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menjadi
Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 disambut
baik sebagian besar masyarakat karena mengamanatkan hukuman kebiri
terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak, yang selanjutnya secara
teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kima, Pemasangan Alat Pendeteksi
Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan
Seksual Terhadap Anak.
Tindakan kebiri kimia dipandang
mendesak untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, dengan
memberi efek jera terhadap pelaku dan mencegah terjadinya kekerasan
seksual terhadap anak terulang kembali. Pemberikan hukuman berupa
tindakan kebiri kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak rasanya
menjadi pelengkap penting dalam kebijakan negara memberikan perlindungan
terhadap anak. Namun, bagaimana hukuman terhadap kekerasan anak yang
bukan terkait seksual, tetapi akibat kekerasan tersebut sang anak
mengalami luka bagian wajah yang parah akibat pencongkelan mata
sebagaimana dialami gadis kecil AP akan mengalami cacat dan trauma bagi
masa depannya.
Setidaknya ada dua regulasi yang dapat
dikenakan terhadap para pelaku kekerasan terhadap gadis kecil AP.
Pertama, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT), pasal 44 Ayat (2) yang pada intinya
menyatakan pelaku kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan korban
jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun atau denda paling banyak tiga puluh juta rupiah.
Sedangkan
yang kedua adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Pada Pasal 80 Ayat (2), ancaman hukum bagi pelaku
kekerasan terhadap anak yang menyebabkan luka berat dapat dipidana
dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling
banyak seratus juta rupiah. Terhadap korban, undang-undang ini
mengamanatkan untuk memberikan perlindungan Khusus melalui penanganan
yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik,
psikis, dan sosial serta pendampingan psikososial pada saat pengobatan
sampai pemulihan.
Jika pelaku kejahatan seksual terhadap anak
dapat disanksi hukuman kebiri kimia, apakah untuk menimbulkan efek jera,
hukuman yang lebih berat atau sepadan dapat diberlakukan kepada para
pelaku kekerasan anak non seksual, khususnya yang menimbulkan luka fisik
dan psikis yang teramat mendalam dan berkepanjangan.
Ini
penting diangkat, mengingat jumlah kekerasan non seksual terhadap anak,
namun meninggalkan luka mendalam, cacat permanen dan trauma yang
berkepanjangan masih tinggi. Tampaknya perlu dipikirkan kembali
pemberian sanksi yang lebih berat kepada para pelaku sejenis di atas,
sebagaimana negara memberi sanksi hukuman kebiri kimia kepada para
pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dengan persyaratan tertentu.
Terlebih
mata merupakan salah satu anugerah indera terindah dari Allah SWT,
Tuhan yang maha kuasa yang diberikan kepada manusia sejak lahir. Dalam
Al Quran Surat An-Nahl Ayat 78 menyatakan “Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia
memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu
bersyukur. Betapa besarnya rasa syukur, karena kita bisa melihat dan
mendengar, sehingga kita bisa menikmati berbagai keindahan alam di
dunia. Namun, kedua orang tua bejat itu malah membabi buta menghardik
indera penglihatan sang anak yang seharusnya dijaga dan dilindungi.
Butuh Kesadaran Bersama
Dalam
konteks perlindungan, anak bukan hanya milik orang tua, keluarga dan
masyarakat. Negara memastikan memberikan perlindungan hak-haknya sejak
mereka lahir. Namun, undang-undang sebagus apapun, tidak menjamin
penegakan hukum atas kekerasan terhadap anak berjalan dengan baik. Jika
orang tua, keluarga dan masyarakat tidak peka dan cukup pengetahuan
bagaimana melindungi anak, maka kekerasan terhadap anak akan terus
terjadi. Kita tidak mungkin hanya mengandalkan penegak hukum dan para
komisioner perlindungan anak yang jumlahnya terbatas. Perlindungan anak
membutuhkan kesadaran bersama, baik orang tua, keluarga, dan masyarakat.
Kita mencermati bersama, kesadaran akan perlindungan anak
masih belum maksimal. Banyak orang tua yang kurang memahami hak-hak anak
dalam bingkai konstitusi dan perundang-undangan. Bahwa ada kehadiran
negara dalam bentuk perundang-undangan di dalam tata pergaulan rumah
tangga, masih sering terabaikan, baik karena kurangnya pengetahuan atau
karena berbagai kondisi, sehingga menyebabkan kekerasan terhadap anak
tetap terjadi. Banyak yang sadar bahwa anak merupakan titipan Tuhan,
tetapi pada praktiknya bagaimana merawat “titipan” tersebut ada peran
negara, kurang dipahami dengan baik.
Dengan demikian,
peristiwa kekerasan demi kekerasan terhadap anak masih kerap terus
terjadi, karena menganggap orang tua seolah pemilik otoritas tunggal
dari eksistensi anak. Pandangan ini dapat memicu bagaimana orang tua
memperlakukan anak secara semena-mena, termasuk tindak kekerasan,
seperti yang menimpa gadis kecil di atas.
Peristiwa kekerasan
terhadap anak yang terjadi Kabupaten Gowa hendaknya menjadi pelajaran
yang sangat berharga bagi para orang tua, masyarakat dan pemerintah
daerah setempat. Upaya penegakan hukum yang tegas dan adil atas kasus
ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya negara untuk
melindungi hak-hak anak sebagai generasi harapan bangsa.
*)
Penulis adalah Analis Kebijakan Muda di Setwapres. Saat ini sedang
mengambil Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Padjajaran.
Post a Comment