Mengulas Legitimasi Sekretariat KPPU dengan Menggunakan Penalaran Hukum
oleh : Ir. Barid Effendi*
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999) mengemban amanat untuk mengawasi pelaksanaan UU ini. Untuk melaksanakan amanat tersebut, berdasarkan Pasal 36 UU No. 5/1999, dalam penanganan perkara pelanggaran UU, KPPU diberikan kewenangan yang lengkap untuk melakukan tindakan pengawasan mulai dari pengumpulan alat bukti sebagai bahan pemeriksaan, dan/atau melakukan pemeriksaan terhadap kasus dugaan pelanggaran UU No. 5/1999 yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh KPPU sebagai hasil penelitiannya, sampai dengan wewenang untuk memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat. Lebih lanjut KPPU juga diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU No. 5/1999.
Kewenangan penanganan perkara pelanggaran UU No. 5/1999 yang luar biasa ini, melebihi julukan super body yang disematkan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain mengemban amanat pengawasan pelaksanaan UU No. 5/1999, mulai tahun 2013 berdasarkan amanat PP No. 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (yang kemudian dicabut dan diganti dengan PP No. 7 Tahun 2021), KPPU mendapat amanat tambahan yakni melakukan pengawasan pelaksanaan kemitraan. Dan dalam sistem ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 85/PUU-XIV/2016 telah menyatakan ”…..bahwa lembaga KPPU adalah lembaga penegak hukum dalam ranah hukum administrasi”.
Sebagai lembaga negara yang mengemban tugas penegakan hukum persaingan usaha, maka sudah seharusnya KPPU mendapat dukungan sekretariat yang memiliki legitimasi yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum sebagaimana sekretariat lembaga negara lainnya. Apa kata dunia, ketika pegawai sekretariat KPPU sebagai motor penggerak dalam membantu melaksanakan tugas Komisi untuk penegakan hukum persaingan usaha ternyata tidak memiliki legalitas secara hukum yang sah. Jabatan yang disandangnya pun tidak memiliki dasar hukum yang sah karena hanya diatur dan ditetapkan oleh Komisi yang tidak memiliki kewenangan secara hukum pemerintahan. Oleh karena itu, atas nama negara yang berdasarkan hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, sudah seharusnya pula negara ini memberikan keabsahan secara hukum pemerintahan kepada sekretariat KPPU dan keabsahan sebagai aparatur sipil negara kepada pegawai sekretariat KPPU sehingga dapat menjamin kepastian hukum kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan/keadilan dari KPPU di bidang persaingan usaha. Sebagai negara hukum, sebenarnya Negara Indonesia secara konstitusional telah mengatur dan menjamin perlindungan terhadap hak asasi warga negaranya sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 s/d 28 J UUD 1945. Salah satu perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut adalah hak kepastian hukum yang dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Konsepsi negara hukum ini jelas sangat kuat untuk menjadi argumen hukum bagi KPPU dalam menuntut keabsahan sekretariat KPPU dan keabsahan pegawainya secara hukum pemerintahan.
Ir. Barid Effendi.
Dasar Hukum Sekretariat KPPU
Dua puluh dua (22) tahun beroperasinya KPPU dalam mengemban amanat Konstitusi, yakni mengawal terselenggaranya demokrasi ekonomi, tampaknya KPPU luput dari atensi para penyelenggara negara terkait dengan legitimasi sekretariat KPPU yang merupakan mesin penggerak KPPU dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sebagai lembaga negara yang lahir dari rahim reformasi dan nyata-nyata dari inisiatif DPR RI, semestinya sekretariat KPPU tidak dibiarkan berlarut-larut dalam ketidakpastian hukum. Hal ini karena terkait secara langsung terhadap akuntabilitas dan kredibilitas lembaga dalam melaksanakan tugas negara di bidang penegakan hukum persaingan usaha dan dalam melaksanakan pelayanan urusan pemerintahan di bidang persaingan usaha serta akuntabilitas dalam penggunaan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Tidak bisa dipungkiri, situasi dan kondisi pada saat penyusunan UU No. 5/1999 mendominasi konsepsi para pembentuk UU No. 5/1999 agar independensi KPPU dapat terjamin tanpa campur tangan pemerintah. Akibatnya konsep pengaturan sekretariat KPPU pun tidak dikehendaki adanya peran dan campur tangan dari Presiden, dan karenanya cukup diatur oleh Komisi. Konsepsi yang dituangkan dalam Pasal 34 ayat (4) UU No. 5/1999 dengan rumusan “Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi” jelas bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Hal ini karena sekretariat KPPU merupakan organ birokrasi yang tata kelolanya jelas menjadi wilayah kewenangan Presiden selaku kepala pemerintahan.
Atribusi pengaturan “susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat” kepada Komisi yang nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945 ini, tampaknya diyakini oleh para perintis KPPU sejak awal berdiri hingga saat ini. Pegawai sekretariat KPPU pun tampaknya menikmati dan/atau harus mengikuti keputusan Komisi walau harus mengingkari kata hati, karena memang tidak ada opsi kecuali angkat kaki meninggalkan institusi. Oleh karenanya wajar angka turn over pegawai sekretariat KPPU cukup tinggi. Putra-putra pilihan dan unggulan yang menjadi andalan KPPU terpaksa berpindah haluan dan berganti lahan pengabdian. Dalam obrolan pun kemudian muncul ungkapan seloroh bahwa KPPU adalah Kantor Pencetak Pegawai Unggulan, karena faktanya memang demikian. Padahal secara penalaran hukum yang wajar, rumusan ayat yang diyakini tersebut jelas tidak mungkin dapat dilaksanakan karena selain akan bertabrakan dengan ketentuan perundang-undangan yang lainnya, kewenangannya pun sangat nyata limitatif karena hanya mengatur “susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat”, sehingga sangat tidak memadai untuk mengatur sekretariat KPPU secara keseluruhan. Pengaturan sekretariat KPPU oleh Komisi di luar atau selain yang diperintahkan secara limitatif oleh peraturan perundang-undangan tersebut, oleh Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH., MH dalam pendapat hukumnya dikategorikan melakukan tindakan mencampuradukkan wewenang yang dilarang dalam Pasal 17 UU Administrasi Pemerintahan.
Kebuntuan atas rumusan ayat (4) tersebut, diperparah lagi dengan diterbitkannya Keppres No. 75/1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, sebagaimana diubah dengan Prepres 80 Tahun 2008 (Keppres No. 75/1999). Dalam diktum menimbang Keppres No. 75/1999 nyata-nyata adalah melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU No. 5/1999 yakni mengatur pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas dan fungsinya. Dengan demikian secara penalaran hukum yang wajar Keppres tersebut jelas tidak boleh mengatur sekretariat yang diamanatkan dalam Pasal 34 ayat (2) dan (4) UU No. 5/1999, atau dengan kata lain secara kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan tidak boleh melampaui amanat dalam Pasal 34 ayat (1) UU No. 5/1999.
Lebih fatal lagi dalam Pasal 8 Keppres No. 75/1999, dinyatakan bahwa “Susunan organisasi Komisi terdiri dari: a. anggota Komisi; b. sekretariat”. Secara penalaran hukum yang wajar, norma dalam Pasal 8 Keppres ini jelas bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) yang menyatakan “Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi” serta bertentangan dengan penjelasannya Pasal 34 ayat (2) UU No. 5/1999 yang menegaskan “Yang dimaksud sekretariat adalah unit organisasi untuk mendukung atau membantu pelaksanaan tugas Komisi” bukan bagian dari susunan organisasi Komisi. Atau dengan kata lain Presiden telah membuat rumusan baru tentang Komisi dan Sekretariat yang nyata-nyata tidak sejalan dengan UU No. 5/1999. Dengan demikian rumusan Pasal 8 Keppres No. 75/1999 tersebut secara penalaran hukum yang wajar sulit untuk dipahami dan sulit untuk diterima.
Semakin membingungkan lagi, dalam Pasal 12 ayat (2) Keppres No. 75/1999 tersebut juga memberikan atribusi kepada Komisi untuk mengatur “susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat”. Hal ini lah yang disoroti pula oleh Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH., MH dalam pendapat hukumnya bahwa ada dua produk hukum yang memberikan kewenangan secara atributif kepada Komisi untuk mengatur “susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat” ke dalam bentuk Keputusan Komisi. Konstruksi dan rumusan Pasal serta ayat dalam Keppres No. 75/1999 seperti ini, secara penalaran hukum yang wajar juga sulit untuk dipahami, apalagi diyakini legalitasnya. Faktanya, tata kelola organisasi dan kepegawaian sekretariat KPPU oleh Komisi (Perkom) yang bersandarkan pada Keppres No. 75/1999 yang hanya menegaskan ulang Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU No. 5/1999 dan hanya bersifat limitatif tersebut, tidak dapat diterima oleh Kementerian Hukum dan Ham sebagai produk hukum yang sah.
Legitimasi Sekretariat KPPU
Mengacu pada sekilas uraian tersebut dan pendapat hukum Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH., MH tentu mengundang pertanyaaan, “lantas legitimasi sekretariat KPPU yang sekarang berlangsung itu bagaimana”? Sampai saat ini belum pernah ada forum evaluasi yang mengkaji untuk memberi jawaban pasti. Dan para pemerhati hukum pun seolah tidak ada atensi terhadap legitimasi regulasi ini. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit kinerja KPPU pun hanya sebatas menyoroti aspek tata kelola organisasi sekretariat KPPU yang tidak sejalan dengan tata kelola pemerintahan dan hanya merekomensikan agar KPPU berkoordinasi dengan Kemen PAN dan RB. Hadirnya FDPU (Forum Dosen Persaingan Usaha) yang merupakan wadah para dosen persaingan usaha juga kelu membisu tidak mau tahu legitimasi sekretariat KPPU.
Fakta yang lain, sampai saat ini pemerintahpun tampaknya kurang peduli. Hasil rapat koordinasi antar Kementerian yang diselenggarakan di Kantor Sekretariat Negara tanggal 14 April 2016 tidak pernah dimonitor dan dievaluasi. Kementerian Keuangan pun tetap mendanai meski hanya berlandaskan diskresi Menteri, padahal mestinya sudah harus dievaluasi dan tetap mengacu pada Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Lebih memprihatinkan lagi, DPR RI sebagai inisiator lahirnya UU No. 5/1999 belum tampak menunjukkan sikap dan aksi sebagai pemilik taji legislasi untuk meluruskan regulasi ini. Agenda revisi UU No. 5/1999 yang dirintis sejak tahun 2013 s/d 2019 hanya berakhir pada sidang tingkat I DPR RI bersama pemerintah dan hanya meninggalkan janji-janji penghias dokumentasi.
Akhirnya, sekalipun rumusan Pasal 34 ayat (4) UU No. 5/1999 tersebut secara penalaran hukum yang wajar nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, namun harus disadari bahwa kewenangan untuk menafsirkan suatu UU bertentangan dengan UUD 1945 hanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK) selaku penegak dan pengawal konstitusi. Dan hanya tafsir MK inilah yang merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum. Sayangnya, MK pun akan mengeluarkan tafsir hanya apabila ada pengajuan permohonan uji materi UU terhadap UUD 1945 oleh pemohon yang benar-benar mengalami kerugian konstitusional atas keberlakuan UU yang dimohonkan dan pemohonnya pun harus mampu meyakinkan hakim konstitusi dengan argumen hukum yang kuat dan akurat dalam persidangan pengujian undang-undang.
Faktanya, sampai saat ini KPPU dan pegawai sekretariat pun masih menikmati dan belum sepenuhnya meyakini bahwa Pasal 34 ayat (4) UU No. 5/1999 yang selama ini dijadikan sebagai sapu jagat ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tampaknya pula belum merasakan adanya kerugian konstitusional atas keberlakuan Pasal 34 ayat (4) UU No. 5/1999 ini. Bahkan justru merasakan kenyamanan dan bersikukuh bahwa ayat ini merupakan kekhususan bagi KPPU sebagai lembaga independen. Oleh karenanya wajar jikalau KPPU dan pegawai sekretariat KPPU pun sampai saat ini belum tergerak sama sekali untuk mengajukan uji materi Pasal 34 ayat (4) UU No. 5/199 ini dan tampaknya pula masih sangat yakin bahwa Presiden Joko Widodo dapat menuntaskan masalah perbedaan persepsi yang selama ini terjadi.
* Ir. Barid Effendi merupakan pemerhati KPPU dan alumni Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta
Post a Comment